Prinsip ekonomi syariah menggunakan akad  bay-al –Murabahah

Akar kata dari murabahah adalah ‘ribh’ yang arti nya profit atau laba. Transaksi al- murabahah adalah transaksi jual beli dengan harga pokok yang di tambah dengan ke untungan (laba) di mana harga pokok dan laba dari pihak penjual di ketahui oleh pihak  pembeli nya.

 

Bukti transaksi jual-beli Murabahah dari al Qur'an

 

“dan  padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharam kan riba” (Al-Baqarah 2:275).

 

“ hai orang orang yang beriman , jangan lah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” (An Nissa 4:29)

 

Bukti  transaksi jual-beli al –Murabahah dari Sunnah:

Transaksi jual beli yang terjadi pada saat sahabat Nabi,  Abu Bakar membelikan sebuah unta yang di perlukan Nabi Muhammad  SAW untuk hijrah ke madinah dengan harga tawliyyah, yaitu harga pokok tanpa laba, karena sesungguh nya Abu Bakar hendak menghadiah kan unta tersebut kepada Nabi, namun Nabi Muhammad menolak nya dan membayar harga unta tersebut kepada Abu Bakar sesuai dengan harga yang di beli oleh abu bakar, tanpa tambahan. Implikasi dari hadist ini adalah jual beli dapat di lakukan dengan harga pokok nya saja dan juga dengan tambahan atau laba, dengan syarat pembeli mengetahui harga pokok dan harga tambahan nya (laba).

 

Ijma para Sahabat Nabi yang mengizinkan transaksi murabahah yang di narasikan  oleh Ibn Mas’ud dan di laporkan oleh Al-Kasani, bahwa:  “tidak ada rugi nya untuk memberitahukan harga pokok dan laba dari transaksi jual-beli”.

 

Syarat dan ketentuan dari transaksi Bay al- Murabahah.

Pada transaksi ini rukun akad  nya sama dengan transaksi jual-beli yang lain nya, pada transaksi murabahah ini, objek dari akad nya harus lah jelas benda nya apa dan harga pokok berapa, serta laba nya  berapa, harus di jelaskan secara terbuka  oleh pihak penjual nya dan di ketahui oleh pihak pembeli nya, kalau harga pokok dan laba tidak di ketahui oleh pembeli maka transaksi ini bukanlah transaksi bay al -murabahah, melainkan transaksi jual-beli biasa.

 

Praktek transaksi Murabahah pada Bank Syariah

Nasabah berjanji akan membeli komoditi dari Bank syariah dengan menggunakan akad wa’ad (janji). Lalu Bank mewakilkan pembelian komoditi tersebut kepada nasabah menggunakan akad wakalah, dengan akad wakalah itu, nasabah pergi ke supplier/dealer/developer untuk membeli komoditi atas nama bank. Setelah bank mendapatkan barang yang di beli nya lewat nasabah, lalu bank menjual nya kembali kepada nasabah dengan  menggunakan akad murabahah.

 

Praktek transaksi murabahah pada salah satu bank syariah di Saudi Arabia:

Bank mempunyai show room kendaraan bermotor roda dua dan empat dan juga barang-barang elektronik, dimana bank menjual komoditi tersebut langsung kepada nasabah nya.

                      

Hal-Hal yang dilarang dalam transaksi  perbankan syariah yang menggunakan akad bay al-Murabahah.

 

v  Transaksi bay al-murabahah hanya di perbolehkan untuk transaksi jual-beli barang atau komoditi  tidak untuk penambahan modal atau di gunakan untuk modal kerja. Untuk modal kerja bisa menggunakan akad lain seperti mudharabah (bagi-hasil) dan musyarakah (kemitraan, bagi hasil dan bagi rugi), bukan akad murabahah.

 

v  Nasabah menggunakan dana pinjaman dari Bank dengan akad murabahah untuk di gunakan pada keperluan nya yang lain, bukan  untuk membeli komoditi dari Bank.Padahal jelas sekali akad bay al-murabahah adalah akad jual-beli dimana Bank syariah bertindak sebagai pihak penjual.

 

v  Bank menjual komoditi kepada nasabah sebelum bank memiliki komoditi tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah di mana Bank sebagai pihak penjual harus sudah memiliki barang yang hendak di jual nya kepada pihak pembeli.

 

v  Bank dan nasabah melakukan perjanjian akad  Murabahah pada saat nasabah sudah membeli komoditi dari pihak lain. Seharunya nasabah membeli komoditi dari Bank pada saat akad berlangsung. Bukan nya membeli barang pada pihak lain dan mendapatkan pinjaman pembayaran nya dari pihak Bank. Dalam hal ini transaksi nya sama dengan memberi pinjaman dengan imbalan bunga (riba) pada Bank Konvensional.

 

v  Murabahah tidak boleh di roll-over, karena prinsip murabahah adalah jual beli, bukan pinjaman berbasis bunga

v  Nasabah tidak boleh di kenakan sangsi untuk late or default payment, karena sekali lagi transaksi murabahah adalah prinsip syariah berdasarkan jual beli, bukan pinjaman dengan imbalan bunga. Kalau memang nasabah nya dengan sengaja memanfaat kan kondisi seperti ini, maka bank syariah dapat mengenakan sangsi  berupa denda atas keterlambatan pembayaran kepada nasabah, dan harus  menyalurkan pendapatan dari pembayaran denda tersebut kepada Badan Zakat.

 

v  Pemberlakuan praktek da wa ta’ajjal ضع وتعجل ,

Atau pemberian diskon pada nasabah yang rajin membayar cicilan nya sebelum jatuh tempo. Sebagian besar Ulama melarang praktek ini kalau diskon tersebut di kaitkan dengan waktu pembayaran yang di percepat, dengan alasan ada indikasi riba, dimana riba terjadi ketika satu pihak di untungkan dan pihak yang lain di rugikan. Saya pribadi sependapat dengan larangan praktek da wa ta’ajjal ini.

 

Namun, sebagian daripada Ulama klasik mengizin kan praktek ini, tetapi kebanyakan dari para Ulama juga menolak ‘da wa ta’ajjal’ ini di terap kan termasuk para ulama –ulama dari pengikut golongan 4 mazhab yaitu : Maliki, Hanafi, Safi’i dan Hanbali.

 

Para Ulama terdahulu berargumentasi bahwa dasar dari pada di perboleh kan nya praktek da’ wa ta’ajjal  ini adalah  dari analisa mengenai salah satu Hadith  yang di narasikan oleh Abdullah Ibn Masud mengenai golongan Yahudi dari kaum Banu Nadir  yang di usir keluar dari Madinah (karena mereka berkerja sama dengan orang kafir dalam memerangi Islam), maka pada saat itu pengikut setia Nabi Muhammad bertanya kepada beliau : Wahai Rasullullah, kami di beri perintah oleh mu untuk mngusir mereka pergi, padahal sebagian dari kami memberi pinjaman kepada mereka  yang belum jatuh tempo”. Lalu Nabi Muhammad menjawab: “ berikan diskon dan terima pembayaran pinjaman mu dari mereka  segera”.

 

Akan tetapi sebagian besar para Ulama klasik menolak akan keberadaan hadis ini sebagai hadis yang  shahih, karena pengusiran kepada golongan Yahudi dari kaum Banu Nadir itu terjadi pada tahun kedua setelah hijrah yang pada saat itu belum ada larangan mengenai riba.

 Jadi menurut sebagian besar Ulama, kalau pembayaran pinjaman yang waktu nya di percepat atau di majukan (sebelum jatuh tempo) dengan adanya imbalan berupa diskon, maka praktek seperti ini tidak di perboleh kan. Tetapi kalau diskon tersebut di dapat tanpa ada nya kondisi pembayaran pinjaman yang di percepat, dan di lakukan dengan sukarela oleh Bank syariah, hal ini boleh saja di lakukan. Islamic Fiqh Academy Jeddah dalam pertemuan tahunan nya mempunyai pandangan yang sama bahwa diskon tersebut tidak boleh di perjanjikan di dalam akad, dan nasabah tidak boleh mengklaim hal itu sebagai hak nya. Kalau Bank syariah tersebut  di kemudian hari memberi keringanan semacam diskon, dengan sukarela, maka hal itu dapat di terima.

 

Kesimpulan

Pada dasar nya transaksi bay al-murabahah adalah transaksi jual-beli yang sederhana, bukan nya suatu skema pembiayaan, namun dengan di izinkan nya pembayaran transaksi murabahah dengan cara di cicil, maka Bank syariah boleh melakukan pembiayaan dengan akad murabahah, hanya apabila nasabah nya membutukan untuk membeli suatu barang/komodity seperti rumah, kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat dan barang elektronik, bukan untuk modal kerja atau working capital. Kalau ada bank syariah yang memberi pembiayaan murabahah untuk keperluan modal kerja, dapat kita katakan disini bahwa bank syariah tersebut sudah melanggar dari syarat dan ketentuan daripada prinsip ekonomi syariah. (Nibra Hosen)

 

Reference:

1.INCEIF 2006,  Applied Shariah in Financial Transactions ,Topic 5 application of murabahah.

Komentar

Postingan Populer